🦚Kulamarmu di Ufuk Utara🦚
KULAMARMU DI UFUK UTARA
Pada pertengahan kelas XII SMA, Nazila dan Lalu Rifku menjalin sebuah hubungan asmara. Akan tetapi di awal kisah cinta keduanya, waktu mengharuskan mereka menjalani kisah itu dengan cara berbeda yang orang-orang sebut dengan “LDR (Long Direction Relationship”) atau hubungan jarak jauh. Karena setelah lulus, mereka berkuliah di perguruan tinggi yang berbeda, Nazila di Mataram dan Lalu Rifku di Solo. Kisah cinta keduanya, menguar dari sebuah tulisan-tulisan kecil tangan Nazila dalam buku diari miliknya. Tulisan itu tak sengaja dibaca oleh tiga orang sahabatnya yang sebetulnya, mereka sudah mengetahui perasaan Nazila kepada Lalu Rifku sebelumnya. Tulisan itu, menceritakan tentang rasa yang dibalut cinta Nazila, kepada salah seorang teman angkatannya. Ialah Lalu Rifku, lelaki yang ia cintai dalam seribu diam dan hampir sudah satu tahun lamanya perasaan itu ia sembunyikan, yang hanya ia ceritakan pada Tuhan dan lembaran putih penuh tinta hitam.
***
Hari Rabu pukul 15.00 WITA adalah jadwal latihan untuk ekstrakurikuler Pramuka. Nazila yang memiliki posisi sebagai Bendahara di sana, segera bergegas mengenakan seragam pramukanya, lengkap dengan atribut yang ada. Sesampainya di sekolah, teman-teman atau anggota-anggota yang lain sepertinya belum semuanya hadir, begitu pun Pelatih dan Pembina yang belum terlihat langkahnya. Nazila memilih menunggu di dalam ruang kelas sebelum latihan dimulai sembari melakukan hobinya yaitu menulis. Setelah beberapa menit, azan Asar pun berkumandang, Nazila berjalan menuju aula sekolah untuk mengambil air wudu lalu mendirikan salat secara berjamaah. Suasana begitu khidmat dan tenang, semilir angin, serta pepohonan seakan ikut beribadah kepada Allah.
Setelah salat berjamaah selesai, Nazila segera melipat mukena lalu meletakkannya di rak yang tersedia untuk segera menuju ke lapangan. Nazila membungkukkan punggungnya, mencoba mencari sepatunya yang ia letakkan di pinggir tangga aula. Ia ingin segera bergegas menyusul anggota lain yang tampaknya sudah mulai membentuk barisan. Di tengah itu, tiba-tiba bayangan seorang lelaki yang diterpa cahaya matahari, mulai menampakkan pesonanya lalu menghampiri Nazila. Ia adalah Ketua Pramuka di sekolahnya, yang tak lain lelaki itu adalah Lalu Rifku.
“Kamu mencari sepatumu?” tanya Lalu Rifku dengan tatapannya yang meracuni Nazila, membuat Nazila jadi sedikit salah tingkah.
“Iya, saya lupa tadi naruhnya di mana.” Jawab Nazila, mengerenyitkan dahinya.
Lalu Rifku kemudian mencoba menyodorkan sebuah sepatu biru, yang ia pikir tak sengaja tergeser; berpindah tempat. Karena anggota yang lain mungkin tadi terburu-buru menuju ke lapangan, sehingga tak menyadari sepatu yang tergeser oleh kaki mereka. Lalu Rifku menemukannya tepat di samping sepatunya sewaktu ia hendak ingin memasang kaos kakinya.
“Yang ini bukan?”
“Alhamdulillah, iya ini sepatu saya. Terima kasih, ya, Rif.”
“Sama-sama, Naz. Cepet dah pasang sepatumu, yang lain udah berbaris tu di lapangan.”
Nazila mengangguk tersenyum, tanda meng-iya-kan apa yang dikatakan Lalu Rifku. Entah apa yang membuat Lalu Rifku kemudian menggelengkan kepalanya sembari mengurai senyum dan menoleh ke arah Nazila yang sudah mulai berjalan juga menuju lapangan.
***
Langit sudah akan gelap, senja akan kembali menuju peraduannya, latihan hari itu pun selesai. Nazila kemudian masuk ke ruang kelas untuk mengambil tas biru favoritnya yang ia simpan di dalam laci meja dan ia pun bergegas untuk pulang. Tapi belum sampai di pintu keluar, tiga orang temannya Anin, Ika, dan Aulia kemudian menghentikan langkahnya. Tanpa basa-basi apapun, mereka menunjukkan selembar kertas kepada Nazila yang tak sengaja mereka baca dan temukan di atas buku diari Nazila.
“Rifku yang kutuju, ketika kau tahu isi hatiku yang kulukiskan di kertas putih ini, kau akan menemukan sejuta renjana dan asa yang mungkin kau tak pernah menyadari ini sebelumnya. Iya, aku menyimpan separuh atmaku di dalam tulisan-tulisan ini yang kuungkap tulus dari hati.”
Nazila tak menyadari tadi sewaktu ke aula, ia lupa memasukkan diarinya ke dalam tas karena terburu-buru mendengar azan. Hal itu tentu membuat Nazila sangat kaget sekaligus malu. Bagaimana tidak, kertas itu berisi tulisan tentang perasaannya kepada Lalu Rifku. Nazila sontak merampas kertas kemudian berlari keluar dan merobek kertas itu di tengah jalan pulang. Ketiga orang temannya lalu memberitahukan hal ini kepada Lalu Rifku yang tengah sibuk mengunci semua ruang kelas. Lalu Rifku terkejut, tidak menyangka ternyata perasaannya selama ini terbalas. Tanpa berpikir panjang, ia pun berlari mengejar Nazila untuk memperjelas semuanya. Pada akhirnya, Lalu Rifku mengutarakan perasaan yang sebenarnya kepada Nazila. Begitu pun dengan Nazila, ia mengatakan yang sejujurnya kepada Lalu Rifku tentang isi hatinya selama ini. Keduanya mulai dimabuk asmara.
Sebelumnya, teman kelas Nazila dan Lalu Rifku sendiri, bahkan salah seorang guru bahasa Arab tempat biasa Lalu Rifku curhat tentang perasaannya kepada Nazila, sebenarnya sudah tahu bahwa Nazila dan Lalu Rifku, memiliki rasa yang sama tapi mereka lebih memilih memendamnya sendiri. Terutama Nazila. Karena ia tahu dan yakin kalau yang kagum dan suka kepada Lalu Rifku, bukan hanya dirinya saja.Banyak siswi di sekolah yang mengidolakannya. Namun siapa sangka, cinta dalam diam itu saling berbalas; keduanya memang telah jatuh cinta sejak lama. Iya, selama ini Nazila tidak tahu bahwa Lalu Rifku memiliki perasaan yang sama pada dirinya, begitu pun dengan Lalu Rifku.
***
Dua setengah tahun lamanya asmaraloka antara keduanya berjalan indah. Hingga pada akhirnya, Nazila menerima kabar pilu. Ia terpaksa harus melepaskan cintanya itu. Sebab Lalu Rifku, diam-diam telah dijodohkan dan diharuskan menikah muda dengan seorang wanita bernama Baiq Wina, wanita pilihan orang tuanya. Lalu Rifku pun, mau tidak mau harus menikah dengannya dan mengikhlaskan kekasihnya Nazila. Sudah menjadi tradisi turun-temurun keluarga Lalu Rifku, bahwa keturunan bangsawan haruslah menikah dengan keturunan bangsawan pula. Salah satu daerah di Lombok Tengah, tempat tinggal Lalu Rifku memang masih menerapkan tradisi turun-temurun seperti itu. Lalu dan Baiq adalah nama atau gelar yang diperuntukkan bagi mereka yang berasal dari keturunan bangsawan yang mana, gelar itu dipakai sebagai awalan nama orang-orang sejak zaman dahulu pun masih berlaku hingga sekarang. Nama atau gelar bangsawan itu didapatkan dari Mamiq (Ayah) si anak itu sendiri. Jika Ayahnya adalah seorang Lalu atau keturunan bangsawan, maka putra/putrinya juga harus memiliki awalan nama seperti orang tuanya atau gelar yang sama seperti Ayahnya.
Mata Nazila terbelalak tak kuasa, hujan tangis membanjiri pipinya atas remuk hati yang ia rasa, saat seminggu setelah mendengar kabar itu pernikahan Lalu Rifku dilaksanakan. Pada malam yang temaram, Nazila memilih mengasingkan diri di tengah kelam semesta yang sunyi dalam labirin mininya di kota perantauan. Ia mengadukan segalanya kepada Allah. Sadar, ia merasa tak pantas dipersatukan dengan Lalu Rifku, sadar bahwa Lalu Rifku kini sama sekali dan tak `kan pernah kembali apalagi menjadi miliknya lagi. Ia berharap semoga Lalu Rifku bahagia dengan wanitanya dan dirinya bisa melupakan segala tentang mereka. Agar ia dapat memulai kembali hari-harinya dengan senyum di temani semesta.
“Ya Allah, Ya Rahman, Ya Rahim …”
Kau Maha Mengetahui segala isi hatiku. Tolong kuatkan hati hamba, tolong bantu hamba untuk tetap tegar.” Lirih Nazila, di akhir doanya mencoba ikhlas dan memasrahkan segalanya pada Sang Maha Cinta.
***
Purnama demi purnama berpendar, hari berganti bulan, bulan berganti tahun. Kini, Nazila sudah bisa hidup dengan tenang, bebas dari segala kenangan masa lalunya yang nelangsa, yang dengan sekuat usaha ia mencoba keluar dari kubangan luka, dan membakar kembali gelora semangatnya meraih cita-cita demi masa depannya nanti. Tiba saatnya, Nazila memasuki semester tua, tepatnya ia kini menginjak semester 7, di mana ia akan memulai tugas baru dari kampus yaitu melaksanakan program KKN (Kuliah Kerja Nyata). Tentu bagi Nazila, ini akan menjadi petualangan sekaligus latihannya untuk bisa terjun dan mengabdi di tengah-tengah masyarakat nantinya selepas wisuda.
***
Nazila dan tujuh orang mahasiswa, mereka adalah Lalu Araf, Kara, Dhanis, Lalu Thoriq, Rani, Faras, dan Baiq Annisa. Kelompok mereka mendapatkan lokasi KKN di daerah Gangga, Kabupaten Lombok Utara. Ada kegembiraan tersendiri dari masing-masing mereka, karena mendapatkan lokasi KKN yang daerahnya dikenal sebagai salah satu destinasi wisata favorit bak Surga yang ada di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Namun jaraknya yang terbilang jauh dan jalanannya cukup terjal, membuat Nazila sedikit cemas dan gelisah. Karena ia tidak terbiasa melakukan perjalanan jauh dan ekstrim seperti ini. Tapi apapun rintangannya, ia akan tetap menghadapinya, ia tidak mau terganggu dan terhambat gara-gara rasa cemas dan gelisahnya itu.
***
Telah jauh hari-hari berlayar, segala perjuangan dan tantangan akan segera memasuki tahap akhir. Nazila dan tujuh orang temannya itu, mereka sudah merasa seperti satu keluarga, yang tetap setia dan saling menguatkan satu sama lain dalam menjalani hari-hari mereka di setiap perjalanan. Tentunya, segala rasa manis dan pahit mereka nikmati bersama, mengambil hikmah yang ada.
Memasuki hari ke-59, di mana besok adalah hari terakhir mereka menjalani program KKN. Karena program ini hanya berlangsung selama dua bulan atau sekitar 60 hari. Di hari itu, mereka tengah makan siang bersama di Berugaq (bangunan khas Lombok yang terbuat dari kayu dan bambu yang beratapkan jerami) yang posisi bangunannya terletak di tengah-tengah posko mereka yang terpisah antara posko laki-laki dan perempuan. Mereka menyantap nikmat hidangan seadanya yang setiap hari dimasak oleh Nazila dan tiga orang teman perempuannya. Ketika Nazila hendak menyodorkan lauk ke arah Lalu Araf, mata keduanya bertemu dan gerakan tangan Nazila pun terhenti.
“Nazila, ada cinta yang telah mekar.” Bisik dari relung hati Lalu Araf.
“Araf, ada cinta yang telah mekar.” Bisik dari relung hati Nazila.
Benih cinta antara keduanya mulai tumbuh dengan sendirinya, seiring waktu berlayar. Tidak heran jika hal itu terjadi, karena setiap hari mereka selalu bertemu, melewati hari-hari, dan melakukan setiap kegiatan secara bersama-sama. Mungkin saja, cinta itu telah dirasakan oleh keduanya sejak sebelum tatapan tulus penuh cinta di hari itu terjadi.
Kerlingan mereka pun terhenti oleh kehebohan Dhanis. Dengan sangat semangat, Dhanis berencana untuk mengajak teman-temannya pergi refreshing ke tempat wisata Air Terjun Gangga, yang kebetulan jaraknya cukup dekat dengan posko KKN mereka.
“Bro, Sist, besok kan hari terakhir kita KKN. Bagaimana kalau habis ini kita pergi ke Air Terjun Gangga, sekalian liburan sejenaklah.”
“Nah, ide bagus tuh. Berangkat!” Celetuk Kara dengan gembira.
“Yang lain bagaimana? Pada mau ikut juga, kan?” Tanya Dhanis kepada temannya yang lain.
“Berangkat, Bos!” Seru mereka dengan kompaknya.
“Tapi selesai salat Zuhur, ya. Tanggung sudah jam 12:00. Agar kita juga bisa tenang nanti di perjalanan.” Jeda Lalu Araf.
“Siap laksanakan, Paman panutanku.” Timpal Kara.
“Allahuakbar … Allahuakbar ….” Kumandang azan pun bergema, mereka segera bergegas mengambil air wudu dan melaksanakan salat Zuhur. Mereka selalu melaksanakan salat secara berjamaah di Masjid yang berada tepat di samping posko KKN.
***
Ketika jamaah salat Zuhur satu persatu mulai meninggalkan Masjid selepas salat, di ujung ruang sunyi itu Lalu Araf masih khidmat bermunajat, melantunkan doa-doanya kepada sang Pemilik, termasuk tentang urusan hatinya. Siapa sangka, ternyata Nazila adalah satu nama yang ia sebut, ia perjuangkan jawabannya dalam bisikan-bisikan pinta tulusnya.
“Ya Allah, Ya Rahman, lagi-lagi hamba memohon kepada-Mu tentang rasa yang kusimpan selama ini. Jika memang ia yang Kau takdirkan untuk menyempurnakan separuh agamaku, menjadi teman hidupku, tolong berikanlah hamba keyakinan hati dan jalan terbaik-Mu untuk kali ini dapat kulaksanakan niatku pada Nazila. Karena aku tak ingin menjalin hubungan yang pada akhirnya nanti menimbulkan banyak mudarat.”
Dalam perjalanan pulang dari Masjid, Lalu Araf berlari pelan di belakang Nazila yang ketika itu ia baru saja hendak membuka gerbang posko. Nazila sama sekali tak menyadari Lalu Araf yang masih ada di belakangnya. Nazila menoleh arah Lalu Araf ketika ia mendengar ada yang memanggil namanya.
“Nazila, tunggu!” Langkah Nazila terhenti.
“Iya, Raf. Ada apa, ya?’
Tiba-tiba saja, tanpa basa-basi Lalu Araf langsung melontarkan pertanyaan yang cukup membuat Nazila terkejut. Dengan menundukkan pandangannya, ia pun bertanya kepada Nazila.
“Maaf, kalau boleh tahu kriteria suami impian Nazila, seperti apa?”
“Hah?”Kenapa tiba-tiba Araf tanya saya masalah itu?” Nazila sontak kaget, kemudian tampak semburat merah di pipinya.
“Karena saya ingin me ...”
“Naaaz … Raaaf … Ayo cepat siap siap, kita sudah mau jalan ini.” Ungkapan isi hati Lalu Araf pun, terpotong oleh suara Baiq Annisa yang memanggil mereka untuk segera bergegas ke Air Terjun Gangga. Di samping itu, Nazila terus saja bertanya dalam hatinya perihal pertanyaan Lalu Araf tadi. “Sebenarnya, apa yang ingin Araf katakan? Kenapa dia bertanya perihal suami impian saya? Ha ha lawak!” Nyatanya Nazila tidak begitu menanggapi dengan serius tentang apa yang ditanyakan Lalu Araf padanya.
***
Setelah 24 menit di perjalanan, akhirnya mereka pun sampai di lokasi Air Terjun Gangga. Mereka tampak sangat senang, dengan tawa bahagia yang tiada hentinya, menikmati pesona indah semesta dan gemercik air terjun yang jatuh dengan cantiknya. Tapi keseruan itu tak lantas membuat mereka lupa dan lalai untuk tetap melaksanakan salat Asar yang sepertinya sudah tiba waktunya. Lalu Araf yang seolah menjadi alarm pengingat teman-temannya, dengan segera mengajak mereka untuk segera bersiap mendirikan salat. Mereka pun langsung mengambil air wudu dan melaksanakan salat berjamaah di sekitar area air terjun di sana.
***
Setelah selesai salat, mereka pun kembali bergembira, menikmati panorama bak taman Surga. Keseruan itu membuat mereka tak sadar kalau hari sudah mulai petang, senja yang merah pun mulai tersenyum ke arah mereka. Lalu Araf pun mengajak untuk balik ke posko.
“Teman-teman, tampaknya ini sudah sore. Kita balik ke posko, ya.”
“Eh, kita foto bareng dulu dong, yuk. Sebelum balik.” Ajak Thoriq.
Rani dan Faras yang gemar sekali dengan yang namanya kamera, langsung menimpali ajakan Thoriq dengan kompak.
“Ayolah, gaskeun!.”
Mereka meminta tolong kepada salah satu orang di sana untuk mengambil foto mereka. Lalu Araf yang sedari tadi tampaknya tidak fokus ke kamera karena terus saja sesekali pandangannya tertuju ke arah Nazila dan terlihat jelas sepertinya ia tengah memikiran sesuatu yang tak ada orang tahu apa itu. Hal ini membuat teman-temannya curiga. Tapi mereka memilih diam, pura-pura tak menghiraukan.
“Nah, so nice. Yuk, kita balik, Bro, Sis!” Seru Lalu Thoriq dengan girangnya setelah foto bersama selesai.
“Eh sebentar, sebentar.” Cegah Lalu Araf, yang matanya tetap saja menatap malu sosok Nazila.
Tanpa panjang lebar, tiba-tiba Lalu Araf menuju ke arah Nazila dan ya, Lalu Araf pun menyatakan secara langsung perasaannya dan mengutarakan niat baiknya kepada Nazila. Rupanya, sebelum tatapan mata antara keduanya di Berugaq posko siang itu. Memang benar terbukti lewat doa yang ia lantunkan di Masjid siang tadi, Lalu Araf sudah lebih dulu memendam rasa kepada Nazila dan ya, selepas itu Lalu Araf semakin yakin dengan perasaannya. Beberapa minggu yang lalu, tak disangka-sangka ia bahkan sempat membicarakan sebuah lamaran dengan orang tuanya untuk Nazila. Ia menceritakan banyak hal tentang Nazila, orang tuanya pun menanggapi dengan sangat baik niat putranya itu.
Di ufuk utara, dengan saksi nabastala dan riuh ciptaan-Nya, dengan kekayaannya yang memanjakan netra, Lalu Araf kemudian melamar Nazila di hadapan teman-temannya. Sontak semua kaget, tak terkecuali Nazila. Nazila pun menjawab dengan jujur apa yang mesti dijawab. Akan tetapi, di awal Nazila memang sempat menolak Lalu Araf.
“Sebelumnya maaf, saya enggak bisa menerima ini, Raf.”
“Kenapa, Naz? Apa yang enggak Nazila suka dari saya? Apa saya ada salah sama Nazila?”
“Bukan gitu, Raf. Tapi Araf ini kan Lalu, keturunan bangsawan seperti Araf mana bisa bersatu dengan orang dari kalangan rakyat biasa seperti saya. Araf juga mungkin tidak tahu, orang tua Araf di rumah mungkin saja telah menjodohkan Araf dengan wanita lain yang sederajat dengan Araf.” Mata Nazila seperti berkaca-kaca, ia mencoba menahan rinai air matanya. Nazila kembali teringat dengan masa lalunya yang pilu, tiada siapa yang tahu.
“Naz, sebelum saya mengambil langkah ini, orang tua di rumah sudah menyetujui keputusan Araf. Beliau sudah tahu tentang Nazila, beliau juga sudah melihat Nazila lewat foto yang sebelumnya sudah Araf tunjukkan dan perlu Nazila tahu, kalau keluarga saya tidak pernah menerapkan ataupun menjalankan tradisi yang Nazila bilang tadi. Kita semua sama, Naz. Sama-sama manusia biasa, saya dan keluarga saya tidak pernah memandang dan membeda-bedakan orang dari derajatnya atau aspek apa pun itu.” Lalu Araf mencoba untuk menjelaskan dan memberi pengertian kepada Nazila, berharap Nazila bisa yakin dan percaya pada apa yang disampaikannya.
Kara sebagai teman sekaligus yang memiliki ikatan keluarga dengan Lalu Araf mengambil langkah maju. Ia mencoba membantu Lalu Araf untuk meyakinkan Nazila.
“Sebelumnya maaf, nih. Tidak semua masyarakat kita masih melaksanakan tradisi itu, Naz. Termasuk keluarganya Araf, saya kan memiliki ikatan keluarga dengannya. Kakak laki-lakinya Araf, menikah dengan bibik saya yang jelas bukan Baiq atau keturunan bangsawan. Saya dan pastinya teman-teman di sini juga percaya, bahwa cintanya Araf itu benar-benar tulus ke kamu, Naz. Kami bisa melihat itu dengan jelas.”
Mereka tampak haru sekaligus berharap Nazila meng-iya-kan lamaran Lalu Araf. Nazila kemudian memejamkan matanya, sembari menghela napas panjang dan dalam diam sementara itu, ia sejenak meminta keyakinan hati pada Pencipta-Nya. Agar yang ia putuskan hari ini, semoga itulah yang terbaik untuknya. Nazila pun mencoba menjawab dengan lirih lamaran Lalu Araf.
“Bismillah, Raf. Atas izin Allah, saya bersedia menerima lamaran Araf.”
Lalu Araf dan teman-temannya itu pun mengusap wajah dengan kedua tangan mereka; mengucap syukur, tanda bahagia dan leganya atas jawaban Nazila tadi.
“Alhamdulillah, terima kasih, Naz. Akhirnya enggak sia-sia juga. Orang tua saya pasti bersyukur mendengar kabar baik ini. Oh iya, dan satu lagi, Naz. Kita Bismillah-kan ini, ya. Karena saya ingin langsung menghalalkan Nazila, usai kita wisuda nanti. Saya janji untuk ini.”
Serentak teman-temannya meng-amin-kan.
“Aamiin.”
Bahagia di wajah keduanya tampak jelas, ukiran senyum pun semakin indah. Lamaran di ufuk utara itu pun ikut serta di-amin-kan semesta dan seisinya. Cinta Nazila dan Lalu Araf, disambut meriah oleh puluhan kicau burung dan baskara yang akan segera kembali ke peraduannya. Mereka pun kembali ke posko dengan hati teramat bahagia.
***
Untuk kita semua saudara-saudari seperjuanganku, ketahuilah bahwa cinta yang sebenarnya bermakna indah itu hanyalah cinta karena Allah. Bukan cinta karena nafsu hina yang pada akhirnya akan berbuah duri, sia-sia, nelangsa. Simpanlah warna-warni cintamu sebelum pada akhir skenario-Nya nanti, kau dipertemukan dengan ia yang memang sudah tertulis jelas namanya di buku takdirmu. Percayalah, jodoh yang memang ditakdirkan untukmu, pasti akan pulang kepadamu jua; kamu yang ia anggap rumah. Berdoalah terus, lantunkanlah lagi, tetaplah kau ketuk pintu Allah dengan sejuta pintamu itu dan pastikan ketika Allah membukakannya untukmu, kau masih setia berada di sana.
Kawan, mungkin ini yang terakhir. Cinta itu bukan perihal kesamaan derajat antara kau dan dia, bukan perihal dia raja, kamu rakyat biasa, bukan semua itu. Tapi cinta itu perihal apa adanya kita, kita yang sama-sama hanya manusia biasa di hadapan Allah. Tapi percaya dan yakinlah, bahwa laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik pula. Begitu pun sebaliknya.
Penulis : Baiq Maulina Safira
Komentar
Posting Komentar
mohon agar tetap memperhatikan adab dan etika dalam berkomentar. terimakasih