Masihkah Mengeluh?

Hidup ini fana,

Hidup ini memang tak selayaknya menjadi acuan,
Namun hidup ini tantangan, hidup ini juga anugrah,
Hidup inipun perjuangan,
Perjuangan bagi ia yang kita cintai.
Pagi itu, aku bersama teman ku baru saja memutuskan untuk pulang kampung, kita berjalan menyusuri jalan raya kota Mataram sembari menunggu angkutan umum lewat, tak sampai  menuggu lama  angkutan umum itupun lewat, tanpa diberi tanda bahwa aku dan teman ku akan naik, angkutan itu sudah lebih dahulu berhenti dan menawari ku untuk naik.
“ayo mbak “ ajakan kernet itu pada aku dan teman ku.
Aku pun naik di mobil kuning itu, dan isinya baru beberapa orang,hanya ada aku, teman ku,bapak tua, kernet dan tukang supir itu.
Keadaan ya begitu saja, hanya ada obrolan dari kernet dan tukang supir yang berbicara masalah pekerjaan dan perantauan hanya untuk menafkahi keluarganya.
Namun jelasnya aku tak tahu, aku tak terlalu memperhatikan perbincangan mereka berdua.
Selebihnya dengan bapak tua itu, ia hanya menikmati perjalannan yang ada hanya dengan membisu lalu pandangan hanya lurus sesuai dengan bagaimana ia duduk. Entah apa yang sedang beliau pikirkan.
 ”ini pertama kalinya aku naik angkutan umum, selebihnya aku sering dijemput oleh kakak ku na” cetus ku, sembari mencairkan suasana yang sedari tadi Ina hanya memperhatikan benda-benda di luar jendela yang kita lalui.
“oh,kalau aku sudah tiga kali” sahut Ina pada ku.
“ Bayarnya berapa, sampai Bertais na “ Tanya ku
“Lima ribu, nanti di Bertais kita naik engkel, biayanya sampai tujuan kita Rp. 15.000 “ jawab Ina
“yaudah nanti Ina ya yang stoppin Nani ya, di Mt. Gamang ? “
“Ya ”
Sesampainya di Bertais (Terminal Engkel dan Bus ) kami bagaikan artis heheh, ya kami langsung di datangi tiap kernet engkel yang ada, hanya untuk naik di engkel mereka, bahasa yang santun nan lembut ia suguhkan hanya untuk menarik penumpang, satu penumpang baginya bagaikan suatu keberkahan sendiri yang ada, bagaimana tidak, banyaknya penumpang yang bisa ia raih maka banyak pula uang yang ia hasilkan dan akan mengukir senyum di raut wajah istri dan anak-anaknya tercinta.
Baju lusuh, kulit hitam, dan handuk kecil yang ia sematkan di lehernya, ”Mbak, mbak ayo naik sini, ini ke Lotim mbak “ Sahut salah satu kernet sembari menghampiri kita.
“Ya, pak saya cari minum dulu” Sahut Ina.
“Ya, Mbak silahkan sarapan saja dulu, nanti naik engkel ini ya mbak “ Timpal bapak tua itu dengan sopan.
Kami hanya tersenyum menyaksikan mereka yang dengan gembiranya hanya melihat penumpang turun dihadapan mereka.
Usai beli minuman, kami pun naik di Engkel yang dituntun oleh bapak tua itu.
“Harusnya kita tidak naik disini, seharusnya kita naik di depan “ Gerutu Ina pada ku.
“Kenapa emang “
“Ya, Supaya gak kaya gini nunggu lagi penumpang, kalau kita naik di depan itu, kita langsung jalan ke tujuan dan cepat sampai “ Sahut Ina menjelaskan ku.
“Nih minum” Bahasa Ina yang menawarkan ku minuman sembari kesal.
“Sudah lah, nanti juga berangkat “.
Kau tahu, ada dua puluh menit kurang lebih kita menunggu engkel kita berangkat, karena engkel yang kita tumpangi hanya berputar-putar terminal, hingga pada akhirnya pak supir memutuskan untuk berangkat maka berangkat lah kami.
Disaat itu baru ada Empat orang penumpang, disana ada aku, Ina, adik kecil dan sang Ibu.
Aku memberikan adik kecil imut itu coklat, ”Nih dik” sembari ku tersenyum
Ia malu-malu untuk mengambilnya, semakin membuat dia imut saja.
Lalu ibunya berkata “Ambil, itu dari kakak “ Jawab ibu dengan ramahnya.
“Makasih “ Jawab adik keci itu.
Kami pun berangkat meninggalkan Bertais, engkel itu melaju dengan perlahan, sembari mata pak supir terus memperhatikan keadaan yang ada, dilihat satu yang berdiri saja dipinggir jalan, ia mulai memperlambat engkelnya.
“Ayo Mbak Lotim ?” Sahut sang supir sembari membasuh keringat nya.
“Tidak pak”
Ia di tolak, namun masih saja tersenyum.
Kembali ia melajukan engkelnya, tingkahnya masih sama, ia mengamati keadaan sekitar di perjalanan.
Higga ada Empat orang Ibu-ibu yang baru saja dari Pasar, ia dapati dan Alhamdulillah naik satu engkel bersama kami.
“Aku yang hanya melihat saja sudah senang, apalagi beliau ya”. Cetus ku dalam hati.
Hingga engkel itu penuh, bapak itu mulai focus dengan perjalanan kita.
Entah sejak kapan ia mencari penumpang, namun bagi ku mencari penumpang itu cukup sulit, belum lagi penumpang yang rempong, bawaan banyak. Tapi satu pelajaran yang bisa ku ambil pada hari itu.
Ya, Seorang lelaki yang penuh tanggung jawab, berlumuran keringat, baju lusuh, dan sematan handuk kecil putih di lehernya.
Tetap semangat dan tersenyum yang ia timpalkan pada kami, hanya untuk menarik kami agar naik engkel mereka.
Rambut lepek dan kulit semakin hitam diterpa sinar matahari, dari pagi hingga sore ia menyusuri dunia ini, menghantarkan setiap penumpang ke tujuan masing-masing.
Tak peduli lapar, ia hanya ditemani satu air botol tanggung di Engkelnya.
Kau tahu itulah lelaki yang bertanggung jawab.
Yang berusaha keras menafkahi keluarganya, berjuang memenuhi kebutuhan keluarganya.
Tak ku dengar sedikit pun ia mengeluh, mungkin saja ia mengeluh, namun bagi ku wajar saat lelah menghampiri.
Namun hal itu tidak membuat semangatnya pudar.
Ia tetap saja semangat dengan gigihnya ia turun lalu naik kembali hanya menghampiri seorang penumpang....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

(SEKILAS DAKWAH) Biodata Imam Al-Ghazali

🌹Mencintai Dalam Diam🌹

OBATMU ADALAH SEDEKAHMU